SEJARAH MAKAM SYEKH QURO
Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain
Pulobata adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu Pesantren
Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428.
Nama asli Syekh Quro ialah Syekh
Hasanuddin atau ada pula yang menyebutnya Syekh Mursahadatillah.
Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama)
penganut madzhab Hanafi yang berasal dari Makkah, yang berdakwah di
daerah Karawang dan diperkirakan datang ke Pulau Jawa melalui Champa
atau kini Vietnam selatan.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, Syekh
Quro melakukannya melalui pendekatan yang disebut Dakwah Bil Hikmah,
sebagaimana firman ALLAH dalam Al-Qur’an Surat XVI An Nahl ayat 125,
yang artinya : “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan)
dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar pikiranlah dengan mereka
dengan cara yang terbaik”.
Sebagian cerita menyatakan bahwa pada
Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan Laksamana
Haji Sampo Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan 63
buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25.000 orang untuk
menjalin persahabatan dengan kesultanan yang beragama Islam.
Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu
rupanya diikutsertakan Syekh Hasanuddin dari Campa untuk mengajar Agama
Islam di Kesultanan Malaka, Sebab Syekh Hasanuddin adalah putra seorang
ulama besar Perguruan Islam di Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik
yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin serta Syekh
Jalaluddin, ulama besar Makkah.
Bahkan menurut sumber lain, garis keturunannya sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali KRW, menantu Rasulullah SAW.
Adapun pasukan angkatan laut Tiongkok
pimpinan Laksamana Sam Po Bo lainnya ditugaskan mengadakan hubungan
persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muara Jati Cirebon dan
sebagai wujud kerjasama itu maka kemudian dibangunlah sebuah menara di
pantai pelabuhan Muara Jati.
Dikisahkan pula bahwa setelah Syekh
Hasanuddin menunaikan tugasnya di Malaka, selanjutnya beliau mengadakan
kunjungan ke daerah Martasinga, Pasambangan, dan Jayapura melalui
pelabuhan Muara Jati. Kedatangan ulama besar tersebut disambut baik oleh
Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati putra bungsu Prabu Wastu
Kancana, Syahbandar di Cerbon Larang (yang menggantikan Ki Gedeng
Sindangkasih yang telah wafat). Ketika kunjungan berlangsung, masyarakat
di setiap daerah yang dikunjungi merasa tertarik dengan ajaran Islam
yang dibawa Syekh Quro, sehingga akhirnya banyak warga yang memeluk
Islam.
Kegiatan penyebaran Agama Islam oleh
Syekh Hasanuddin rupanya sangat mencemaskan penguasa Pajajaran waktu
itu, yaitu Prabu Wastu Kencana atau Prabu Angga Larang yang menganut
ajaran Hindu. Sehingga beliau diminta agar penyebaran agama tersebut
dihentikan.
Oleh Syekh Hasanuddin perintah itu
dipatuhi. Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan, bahwa
meskipun dakwah itu dilarang, namun kelak dari keturunan Prabu Angga
Larang akan ada yang menjadi seorang Waliyullah. Beberapa saat kemudian
Syekh Hasanuddin mohon diri kepada Ki Gedeng Tapa.
Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa sendiri
sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama besar itu, Sebab ia
pun sebenarnya masih ingin menambah pengetahuannya tentang Agama Islam.
Oleh karena itu, sewaktu Syekh Hasanuddin kembali ke Malaka, putrinya
yang bernama Nyai Subang Karancang atau Nyai Subang Larang dititipkan
ikut bersama ulama besar ini untuk belajar Agama Islam di Malaka.
Beberapa waktu lamanya berada di Malaka,
kemudian Syekh Hasanuddin membulatkan tekadnya untuk kembali ke wilayah
Kerajaan Hindu Pajajaran. Dan untuk keperluan tersebut, maka telah
disiapkan 2 perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya termasuk
Nyai Subang Larang.
Sekitar tahun 1418 Masehi, setelah
rombongan ini memasuki Laut Jawa, kemudian memasuki Muara Kali Citarum
yang pada waktu itu ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang
memasuki wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Kali Citarum ini akhirnya
rombongan perahu singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang.
Kedatangan rombongan ulama besar ini disambut baik oleh petugas
Pelabuhan Karawang dan diizinkan untuk mendirikan musholla yang
digunakan juga untuk belajar mengaji dan tempat tinggal.
Setelah beberapa waktu berada di
pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla
yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam
mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama
santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya
tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu
suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang
secara sukarela menyatakan masuk Islam.
Berita tentang dakwah Syeh Hasanuddin
(yang kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh Quro) di pelabuhan
Karawang rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang
dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala
mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim
utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah
Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro.
Namun tatkala putra mahkota ini tiba di
tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu
ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang.
Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri
Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya
untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya
untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya.
Lamaran tersebut rupanya diterima oleh
Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang
Saketi”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di Negeri Makkah.
Sumber lain menyatakan bahwa hal itu
merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam
melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga
mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah
ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden
Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun
dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung sekarang)
dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.
Pernikahan di musholla yang senantiasa
menganggungkan asma ALLAH SWT itu memang telah membawa hikmah yang
besar, dan Syekh Quro memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh
ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi. Sebab para putra-putri
yang dikandung oleh Nyai Subang Larang yang muslimah itu, memancarkan
sinar IMAN dan ISLAM bagi umat di sekitarnya. Nyai Subang Larang sebagai
isteri seorang raja memang harus berada di Istana Pakuan Pajajaran,
dengan tetap memancarkan Cahaya Islamnya.
Putra pertama yang laki-laki bernama
1. Raden Walangsungsang ( 1423 Masehi)setelah melewati usia remaja, maka bersama adiknya yang bernama
2. Raden
Rara Santang,( 1426 Masehi)meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran
kemudian mendapat bimbingan dari ulama besar yang bernama Syekh Dzatul
Kahfi di Paguron Islam di Cirebon. Setelah kakak beradik ini menunaikan
ibadah Haji, maka Raden Walangsungsang menjadi Pangeran Cakrabuana
memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang, Cirebon.
Sedangkan Raden Rara Santang sewaktu di
Makkah diperistri oleh Sultan Mesir yang bernama Syarif Abdullah. Adik
Raden Walangsungsang yang bungsu adalah laki-laki bernama
3. Raden
Sangara ( 1428 Masehi) atau Pangeran Kian Santang, pada masa dewasanya
menjadi Muballigh untuk menyebarkan agama Islam di daerah Garut.
Adapun kegiatan Pesantren Quro yang
lokasinya tidak jauh dari pelabuhan Karawang, rupanya kurang
berkembangnya karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah kerajaan
Pajajaran. Hal tersebut rupanya dimaklumi oleh Syekh Quro, sehingga
pengajian di pesantren agak dikurangi, dan kegiatan di masjid lebih
dititik beratkan pada ibadah seperti shalat berjamaah.
Kemudian para santri yang telah
berpengalaman disebarkan ke pelosok pedesaan untuk mengajarkan agama
Islam, terutama di daerah Karawang bagian selatan seperti Pangkalan.
Demikian juga ke pedesaan di bagian utara Karawang yang berpusat di Desa
Pulo Kalapa dan sekitarnya.
Dalam semaraknya penyebaran agama Islam
oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syekh Quro, kemudian
disempurnakan oleh para ulama dan Umat Islam yang modelnya berbentuk
“joglo” beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan
Cirebon.
Pengabdian Syekh Quro dengan para santri
dan para ulama generasi penerusnya adalah “menyalakan pelita Islam”,
sehingga sinarnya memancar terus di Karawang dan sekitarnya.
Makam Syekh Quro terdapat di Dusun
Pulobata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Lokasi makam penyebar
agama Islam tertua, yang konon lebih dulu dibandingkan Walisongo
tersebut, berada sekitar 30 kilometer ke wilayah timur laut dari pusat
kota Lumbung Padi di Jawa Barat itu.
Dalam sebuah dokumen surat masuk ke
kantor Desa Pulokalapa tertanggal 5 November 1992, ditemukan surat
keterangan bernomor P-062/KB/PMPJA/ XII/11/1992 yang dikirim Keluarga
Besar Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII. Surat tersebut
ditujukan kepada kepala desa, berisi mempertegas keberadaan makam Syekh
Quro yang terdapat di wilayah Dusun Pulobata Desa Pulokalapa, Kecamatan
Lemah Abang bukan sekedar petilasan Syekh Quro tetapi merupakan tempat
pemakaman Syekh Quro.
Selain itu, di Dusun Pulobata juga
terdapat satu makam yang diyakini warga Karawang sebagai makam Syekh
Bentong atau Syekh Darugem, yang merupakan salah seorang santri utama
Syekh Quro. Wallohu a’lam *** (Dirangkum dari berbagai sumber.).
Posting Komentar untuk " SEJARAH MAKAM SYEKH QURO KARAWANG JAWA BARAT"